Dongeng, Perlukah Untukku?
Oleh : Helinkusdani
Doc.
Pena Ananda Club
Dongeng,
mendengar, dan memperdengarkan lagi. Tentunya kita pernah mengalami salah satu
dari dua aktivitas itu. Anak-anak yang lahir era 90-an sudah hapal, sebelum
mata terlelap ada barisan kata yang terangkai indah membentuk rentetan
peristiwa imajinatif terdengar oleh telinga. Ibu, beliaulah yang akan
mengucapkan kata indah itu. Pertama, penasaran. Esoknya, menanti setengah enggan.
Lusanya, ketagihan. Setelahnya, sudah jadi rutinitas yang tidak boleh
ditangguhkan.
Terdapat
begitu banyak manfaat dongeng, hingga para ibu tidak mau melewatkan momen untuk
mempraktekannya. Dilansir dari kompas.com menurut psikolog Monica Sulistiawati
mendongeng memiliki banyak manfaat, diantaranya membantu dalam perkembangan
kognitif, sosial, emosi, imajinasi, kebahasaan, minat baca, serta menjadi faktor
pendekat hubungan orang tua dan anak.
Aktivitas
mendongeng menjadi kegiatan pengasuhan yang tepat. Ada pesan moral mengenai kehidupan
yang disampaikan melalui tutur kata yang menarik. Mungkin perlu tenaga dan
pikiran ekstra bagi para ibu untuk menyampaikan cerita agar anak mudah
memahami, tapi uniknya, mereka selalu tahu bagaimana memecahkan persoalan itu.
Dewasa
ini, muncul banyak sekali anak-anak yang dikabarkan sejumlah media krisis
moralnya. Siapa sangka ini juga berhubungan dengan kuantitas anak-anak
mendengar dongeng yang kurang, bukan minim. Namun saat ditemui di lapangan, “minta
diperhatikan itu sama orang tua,” elaknya. Asalkan diketahui saja, mendongeng
meskipun beberapa menit saja sebelum tidur, para orang tua secara tidak
langsung sudah memberikan perhatian pada anak.
“Kurang
didikan orang tuanya,” lanjut si tukang nyinyir yang entah siapa yang pertama
berujar. Ada pesan moral penting sebagai bekal anak yang selalu tersampaikan
kala cerita pengantar tidur itu didengungkan. Bahkan mengalahkan untaian lirik lagu
dangdut koplo yang kerap membahas percintaan semu yang berakhir pilu. Mungkin jika
diminta maju ke depan untuk menyanyikan salah satu lagu terbaru patah hati
mereka lebih fasih ketimbang diminta mendongengkan sebuah cerita.
Satu, dua, tiga, saling
menyalahkan profesi satu sama lain, dari orang tua, guru bahkan teman bermain
game online jadi sasaran. Mungkin, tulisan ini yang terlalu menghakimi. Namun,
siapa yang tahu mana yang benar mana yang salah, kecuali Tuhan. Hanya jadikan
saja pengingat diri atas munculnya sepucuk surat rindu ini mewakilkan ungkapan
hati anak yang sedang berdoa hendak tidur di luar sana. Tanpa bermaksud
melemahkan salah satu pihak, hadir memberikan secuil solusi.
0 comments:
Posting Komentar