Yusri Fajar ditengah para pecinta sastra Tulungagung di Pena Ananda Club, Selasa (4/4). (Foto: Asakita Ahmad) |
"Itu mengapa saya senang sekali bisa berada di sini bersama dengan teman-teman semua," ungkapnya menyambung rasa di awal perbincangan.
Bagi Yusri dan penulis sastra Indonesia, menghasilkan karya sastra itu sebagai sebuah pemenuhan kebutuhan batin. Tentu setiap karya sastra terlahir dengan mengusung misi dan cita-cita tertentu. Namun, kalau menulis dijadikan sebagai penopang hidup, di Indonesia sampai saat ini masih sangat belum memungkinkan. Karena itu banyak penulis yang menjadikan dunia kepenulisan sebagai profesi kedua setelah profesinya sebagai pengusaha, dokter, dosen, ekonom, dan lain sebagainya.
Ngopi Sastra yang gayeng meski hanya satu jam saja. (Foto: Asakita Ahmad) |
Riset dapat dilakukan dalam berbagai pendekatan, mulai dari wawancara, observasi lapang, observasi partisipatoris, hingga telaah literatur. "Riset ini suatu proses yang harus dilakukan oleh penulis, meski hasilnya bukan untuk konsumsi publik, melainkan hanya untuk bahan kajian dan penulisan kita," Yusri menegaskannya. Seperti karya berbasis kearifan lokal dan sejarah, riset sangat diperlukan untuk mengindarkan penulis dari asumsi-asumsi yang menyebabkan karya menjadi tidak matang.
Selain riset, Yusri juga mengulas sekilas tentang pentingnya berkomunitas untuk pengembangan diri para penulis sastra. Meskipun karya sastra adalah karya individual, namun prosesnya akan jauh lebih baik jika melibatkan banyak orang, terutama komunitas. Komunitas bagi seorang penulis adalah wadah untuk penimbang karya dan wadah untuk menjaga spirit."Seorang penulis tidak akan bertahan jika tidak berada dalam lingkungan yang ada reading activity-nya," kata Yusri menguatkan.
Salam sastra.
Album foto dapat klik disini.
0 comments:
Posting Komentar