Lika Liku TBM Dalam Wujudkan Generasi Muda Melek Informasi


TULUNGAGUNG – Bermula dari kegelisahan tentang minimnya minat baca pada generasi muda, menggugah pegiat literasi mendirikan taman baca masyarakat (TBM). Namun, demi mewujudkan cita-cita generasi muda melek informasi, ternyata penuh liku-liku. Beberapa TBM pun berakhir terbengkalai.


BERTAHAN: Salah satu taman baca masyarakat (TBM) yang masih beroperasi.(HENNY SURYA AKBAR PURNA PUTRA/RATU)

Suprayitno, Plt Kepala Bidang (Kabid) Paud Dinas Pendidikan dan Olahraga (Dispendikpora) Tulungagung mengatakan, tercatat 25 TBM di Kabupaten Tulungagung. TBM itu tersebar di 10 kecamatan, yakni Tulungagung, Ngunut, Rejotangan, Sumbergempol, Campurdarat, Boyolangu, Bandung, Kauman, Kalidawir, dan Ngantru.

Dia mengatakan, TBM selama ini termasuk pendidikan nonformal. Artinya, berfungsi positif bagi masyarakat karena memiliki visi-misi untuk meningkatkan daya literasi masyarakat. Selain itu, TBM juga berfungsi meningkatkan minat baca masyarakat.

Pria ramah itu melanjutkan, pendidikan nonformal masih menyandang stigma negatif. Pasalnya, ranah yang dituju adalah kalangan umum. Jadi, antiusiasme dari masyarakat tergolong minim jika dibanding dengan pendidikan formal. “Stigma ini masih melekat di benak beberapa kalangan,” tandasnya.

Padahal, keberadaan TBM begitu mulia, lanjut dia, karena mengantarkan masyarakat melek informasi dan belajar sepanjang hayat. Beruntung jika ada TBM di dekat rumahnya sehingga bisa meminjam buku-buku di situ.

Sementara itu, Tjut Zakiyah Anshari, pemilik TBM di Desa Bangoan, Kecamatan Kedungwaru mengungkapkan, mengembangkan TBM penuh hambatan. Dia pun memutar otak dengan mengangkat konsep baru pada November 2018 lalu. Pada 2008, TBM memfokuskan pada masyarakat umum. Namun, lantaran antusiasme masyarakat minim, dekade kedua mengubah haluan dengan menyasar anak-anak di rumah sakit, lansia dan kembangkan relawan. “Kegiatan anak di rumah sakit yakni mendongeng. Antusiasme pihak rumah sakit anak-anak juga bagus,” katanya.

Di sisi lain, Bunda mengaku sebenarnya di Tulungagung ada sekitar 50 TBM. Tapi yang tercatat di disdikpora sekitar 25 lembaga. Sedangkan dari daftar TBM itu, sekitar 17 TMB masih aktif. “Ada bantuan dari pemprov ataupun perpustakaan nasional (perpusnas) berbentuk buku atau anggaran pengelolaan. Namun tak ada dana insentif,” ujarnya.

Kondisi itu membuat Bunda kembangkan relawan dan profit. Untuk mepertahankan relawan yakni memberikan apa yang mereka harapkan. “Karena tak ada insentif agar instansi nonprofit bisa berkembang, harus kembangkan yang profit,” katanya.

Bunda mengaku instansi induk memiliki konsep menulis. Harapannya, memberikan skill menulis bisa sebagai reward pengganti insentif kepada para relawan. Sedangkan dari jerih payah para relawan, kegiatan-kegiatan nonprofit maupun profit bisa terselenggara dengan baik.

Pasalnya, instansi seperti ini harus terapkan jemput bola. Tak pelak, kegiatan jemput bola itu juga membutuhkan dana operasional. “Dari dana kegiatan profit yang terkumpul nanti digunakan untuk kegiatan yang nonprofit,” tandasnya.

Di sisi lain, Nursamsu, pemilik TBM di Jalan Mastrip, Kelurahan Jepun, Kecamatan Tulungagung mengaku, mulai tahun lalu TBM-nya terbengkalai lantaran tak ada insentif bagi pengelola. Meski sempat ada relawan yang menunggu TBM dan mengelolanya, tak bisa bertahan lama. “Jujur saya juga punya pekerjaan lain sehingga tak bisa mengelola TBM melulu. Tapi jika ada insentif penunggu TBM, katakanlah Rp 300 ribu per bulan, sudah cukup,” jelasnya.

(rt/dre/pur/red/JPR)

Dipublikasikan Radar Tulungagung, Jumat (22/2/2019).
Share on Google Plus

About PENA ANANDA CLUB

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.