TULUNGAGUNG
– Bermula dari kegelisahan tentang minimnya minat baca pada generasi muda,
menggugah pegiat literasi mendirikan taman baca masyarakat (TBM). Namun, demi
mewujudkan cita-cita generasi muda melek informasi, ternyata penuh liku-liku.
Beberapa TBM pun berakhir terbengkalai.
BERTAHAN:
Salah satu taman baca masyarakat (TBM) yang masih beroperasi.(HENNY SURYA AKBAR PURNA
PUTRA/RATU)
Dia mengatakan, TBM
selama ini termasuk pendidikan nonformal. Artinya, berfungsi positif bagi
masyarakat karena memiliki visi-misi untuk meningkatkan daya literasi
masyarakat. Selain itu, TBM juga berfungsi meningkatkan minat baca masyarakat.
Pria ramah itu
melanjutkan, pendidikan nonformal masih menyandang stigma negatif. Pasalnya,
ranah yang dituju adalah kalangan umum. Jadi, antiusiasme dari masyarakat
tergolong minim jika dibanding dengan pendidikan formal. “Stigma ini masih
melekat di benak beberapa kalangan,” tandasnya.
Padahal, keberadaan
TBM begitu mulia, lanjut dia, karena mengantarkan masyarakat melek informasi
dan belajar sepanjang hayat. Beruntung jika ada TBM di dekat rumahnya sehingga
bisa meminjam buku-buku di situ.
Sementara itu, Tjut
Zakiyah Anshari, pemilik TBM di Desa Bangoan, Kecamatan Kedungwaru
mengungkapkan, mengembangkan TBM penuh hambatan. Dia pun memutar otak dengan
mengangkat konsep baru pada November 2018 lalu. Pada 2008, TBM memfokuskan pada
masyarakat umum. Namun, lantaran antusiasme masyarakat minim, dekade kedua
mengubah haluan dengan menyasar anak-anak di rumah sakit, lansia dan kembangkan
relawan. “Kegiatan anak di rumah sakit yakni mendongeng. Antusiasme pihak rumah
sakit anak-anak juga bagus,” katanya.
Di sisi lain, Bunda
mengaku sebenarnya di Tulungagung ada sekitar 50 TBM. Tapi yang tercatat di
disdikpora sekitar 25 lembaga. Sedangkan dari daftar TBM itu, sekitar 17 TMB
masih aktif. “Ada bantuan dari pemprov ataupun perpustakaan nasional
(perpusnas) berbentuk buku atau anggaran pengelolaan. Namun tak ada dana
insentif,” ujarnya.
Kondisi itu membuat
Bunda kembangkan relawan dan profit. Untuk mepertahankan relawan yakni
memberikan apa yang mereka harapkan. “Karena tak ada insentif agar instansi
nonprofit bisa berkembang, harus kembangkan yang profit,” katanya.
Bunda mengaku
instansi induk memiliki konsep menulis. Harapannya, memberikan skill menulis
bisa sebagai reward pengganti insentif kepada para relawan. Sedangkan dari
jerih payah para relawan, kegiatan-kegiatan nonprofit maupun profit bisa terselenggara
dengan baik.
Pasalnya, instansi
seperti ini harus terapkan jemput bola. Tak pelak, kegiatan jemput bola itu
juga membutuhkan dana operasional. “Dari dana kegiatan profit yang terkumpul
nanti digunakan untuk kegiatan yang nonprofit,” tandasnya.
Di sisi lain,
Nursamsu, pemilik TBM di Jalan Mastrip, Kelurahan Jepun, Kecamatan Tulungagung
mengaku, mulai tahun lalu TBM-nya terbengkalai lantaran tak ada insentif bagi
pengelola. Meski sempat ada relawan yang menunggu TBM dan mengelolanya, tak
bisa bertahan lama. “Jujur saya juga punya pekerjaan lain sehingga tak bisa
mengelola TBM melulu. Tapi jika ada insentif penunggu TBM, katakanlah Rp 300
ribu per bulan, sudah cukup,” jelasnya.
(rt/dre/pur/red/JPR)
Dipublikasikan Radar Tulungagung, Jumat (22/2/2019).
0 comments:
Posting Komentar