Ketika Sebuah Alternatif menjadi Diskriminatif

 

Ketika Sebuah Alternatif menjadi Diskriminatif

Oleh : Aliefia Shatila Diva Khairunnisa

    Saat ini, lebih dari 200 negara di dunia menghadapi masalah karena virus corona (Covid-19), tak terkecuali Indonesia. Penyebaran Covid-19 telah membawa dampak besar bagi berbagai bidang kehidupan, salah satunya bidang pendidikan. Kebijakan yang diambil oleh banyak negara saat ini termasuk Indonesia adalah dengan meliburkan seluruh aktivitas pembelajaran tatap muka. Kebijakan ini membuat pemerintah dan lembaga terkait harus menghadirkan alternatif baru untuk kelangsungan proses pembelajaran. Proses belajar mengajar jarak jauh dengan memanfaatkan jaringan internet atau yang dikenal dengan istilah daring dipilih sebagai alternatif pembelajaran. Hal ini bertujuan sebagai upaya untuk mencegah meluasnya penularan Covid-19.



 
                                        Suasana kegiatan pembelajaran daring. Source : Republika.co.id

    

     Pembelajaran secara daring semakin menyadarkan masyarakat akan potensi luar biasa internet apabila dimaanfaatkan untuk hal-hal positif, misalnya seperti mengakses materi pelajaran. Materi pelajaran dapat diakses kapan pun dan di mana pun tanpa batasan ruang dan waktu. Dalam ketidakpastian kapan pandemi ini akan berakhir, pembelajaran daring adalah alternatif mutlak yang harus diterapkan. 

    Di balik sisi positif tersebut, pembelajaran daring juga memiliki dampak negatif. Beberapa permasalahan yang muncul, diantaranya berupa kesiapan sekolah dan kesiapan siswa untuk menggunakan teknologi dalam proses pembelajaran daring.  Terlebih lagi, bagi sekolah-sekolah yang berada di daerah pedesaan. Fasilitas teknologi yang belum memadai, sinyal yang sulit didapatkan, dan minimnya kuota internet menjadi kendala bagi mereka. Perasaan cemas dan takut karena tidak bisa mengakses tugas-tugas akan berpengaruh terhadap kesehatan mental siswa. 

    Sebelumnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia Nadiem Anwar Makarim,  merilis kebijakan soal proses belajar daring selama pandemi bahwa guru tidak boleh mengejar kurikulum yang dapat membebani siswa. Dalam kebijakan tersebut, Nadiem meberikan tiga opsi kurikulum selama pandemi : sekolah tetap mengacu pada kurikulum nasional, sekolah memakai kurikulum darurat, dan sekolah menyederhanakan kurikulum secara mandiri. Dengan kata lain, sekolah dapat melaksanakan kurikulum dengan adaptif. Namun dalam praktiknya masih banyak sekolah atau guru yang belum menerapkan kurikulum adaptif dan menerapkan kurikulum nasional sehingga guru memberikan tugas terus menerus kepada siswa. Diperparah lagi dengan guru yang memberikan intensitas tugas dan pembelajaran secara “normal” padahal kondisi masih belum normal. Dalam sehari pelajar menerima 2-3 tugas dari guru mata pelajaran bahkan tak jarang juga melebihi 3 tugas. Kebebasan jadwal penggunaan sistem daring membuat tak sedikit guru memberikan tugas kapan pun dan di mana pun. Seringkali tugas-tugas tersebut diberikan di luar jadwal mata pelajaran normal yang sudah ditetapkan sekolah. Hal ini membuat pelajar merasa kesulitan untuk menyelesaikan seluruh tugas yang diberikan sehingga akhirnya tugas mereka menumpuk.

    Situasi seperti ini tidak mencerminkan pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, Nadiem Anwar Makarim, saat pelantikannya menjadi menteri bahwa pelajar Indonesia akan mendapatkan kebebasan dalam belajar atau “Merdeka Belajar”. Hal tersebut dikarenakan siswa yang melakukan pembelajaran daring kerap mengalami beberapa kendala seperti kendala jaringan atau kendala sistem aplikasi/web yang digunakannya. Salah satu contoh pada kendala aplikasi/web adalah penggunaan web e-learning yang apabila banyak digunakan siswa dapat berakibat data yang masuk terlalu banyak sehingga web e-learning tersebut mengalami error dan tidak dapat diakses. Tak hanya itu kendala jaringan juga menjadi problematik selama pembelajaran daring. Usaha Menteri Pendidikan dan Kebudayaan memberikan subsidi kuota internet sebagai solusi memang patut diapresiasi namun tidak dapat dipungkiri bahwa jaringan internet di daerah Indonesia masih banyak yang buruk. Pembelajaran daring yang membutuhkan teknologi seperti laptop dan gawai juga menjadi hambatan bagi siswa dengan perekonomian yang rendah dan dapat menjadi beban bagi pikiran siswa. Tentu saja kendala seperti ini, dapat menambah kekhawatiran dan kegelisahan siswa yang dapat berdampak bagi kesehatan mentalnya. Sistem pembelajaran seperti ini akan membuat siswa belajar dengan penuh tekanan dan jauh dari kata merdeka.

    Jika kondisi ini terus terjadi, memang tidak akan ada pelajar yang gugur karena virus tetapi mereka akan gugur karena sebuah sistem pembelajaran. Terlebih lagi untuk menjadi negara maju, dibutuhkan generasi-generasi muda penerus bangsa yang nantinya dapat memajukan Indonesia. Tapi sangat disayangkan, kondisi seperti ini justru menghambat proses tersebut. Bagaimana bisa para pemuda memajukan bangsa ini, jika sebelum berjuang mereka sudah banyak yang gugur. 

    Menyikapi permasalahan seperti ini, pemerintah seharusnya dapat menegaskan dan kemabli merealisasikan seperti apa bentuk “Merdeka Belajar” yang dahulu mereka kumandangkan. Jangan sampai pandemi menjadi alasan untuk sebuah sistem yang seharusnya menjadi alternatif bagi seluruh lapisan pelajar, malah berbalik menjadi sebuah senjata diskriminatif.

Share on Google Plus

About helinkusumaw.blogspot.com

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.